Rabu, 25 Maret 2015

Menakar Masa Depan Mobile Money Indonesia

Sumber: www.thepioneeronline.com


Pelaku industri finansial di seantero Asia memenuhi Convention Expo Marina Bay Sands, Singapura, pada pekan lalu. Dalam perhelatan yang digelar selama dua hari tersebut, mobilepayment menjadi isu yang paling banyak diperbincangkan.

Dibandingkan dengan Amerika Utara dan Eropa, kawasan Asia memang cukup tertinggal dalam mengimplementasikan tren ini. International Data Corporation Financial Insight yang menjadi tuan rumah acara tersebut menjabarkan beberapa hambatan.

Dari sisi populasi, Asia boleh jadi yang paling besar di muka bumi. Namun, penetrasi perbankan di kawasan ini juga relatif rendah. Jumlah penduduk yang tidak memiliki akun bank juga tidak sedikit. Dengan kata lain, masyarakat lebih tertarik menggunakan uang cash untuk transaksi mereka sehari-hari.

Dari sisi teknologi, adopsinya juga belum terlalu signifikan. Berbicara soal ponsel yang dilengkapi dengan fitur near field communication (NFC) misalnya, berapa banyak orang di Indonesia yang memilikinya? Bahkan bagi beberapa orang teknologi NFC masih terdengar asing. Padahal, adopsi NFC di banyak negara maju sudah menjadi hal yang lumrah.

Bagi negara-negara berkembang, dimana penetrasi smartphone NFC relatif rendah, solusimobile payment sebenarnya bisa memanfaatkan QR code. Teknologi ini relatif sudah dikenal di berbagai belahan dunia ketimbang NFC yang lebih canggih. Sayangnya, QR code selama ini diimplementasikan terpisah dengan sistem mobile payment.

Michael Araneta, Research Director IDC Financial Insight, mengatakan untuk mengimplementasikan NFC memang membutuhkan sistem dan kesiapan teknologi yang lebih rumit. Di Indonesia, pebisnis yang hendak menjajal sistem mobile payment menggunakan NFC juga terkendala hal tersebut. Relakah pelaku usaha menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk membangun ekosistem mobile payment?

Araneta menuturkan, jawaban pertanyaan tersebut seperti teka-teki telur dan ayam. Tren dunia sedang menuju ke arah tata cara pembayaran yang serba mobile. Mau tidak mau pelaku industri finansial harus mengakomodir tren tersebut.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Di antara negara-negara Asia, mobile payment di Tanah Air memang belum diminati. Kendati demikian, jalan kea rah tersebut sudah mulai dirintis oleh sejumlah operator di Indonesia dengan meluncurkan platform mobile money. Data IDC menunjukkan penetrasi mobile money di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan India.

Michael Yeo Sek Pheng, Senior Market Analyst  Asia Pasific Financial Services IDC Financial Insight, mengatakan mobile payment di Indonesia memiliki peluang besar untuk terus tumbuh. Hal ini didukung oleh penetrasi kartu kredit yang relatif rendah. Di beberapa negara seperti Singapura, penetrasi kartu kredit yang terlalu tinggi memang menyulitkan adopsi mobile payment yang lebih masif.

“Kalau orang sudah nyaman pakai credit card, ngapain lagi pakai mobile payment?,” ujarnya, pekan lalu.
Yeo mengatakan penetrasi mobile payment di Indonesia akan lebih berkembang jika dimulai dengan platform SMS. Hal ini berangkat dari fakta bahwa penetrasi ponsel yang sangat tinggi, hingga di atas 100%, tetapi penggunaan smartphone masih relatif rendah. Dengan memanfaatkan platform berbasis SMS, mobile payment akan diadopsi secara luas oleh masyarakat.

Di banyak negara berkembang, finansial dan teknologi informasi merupakan sektor yang tidak dapat dipisahkan. Khusus untuk isu mobile payment, kolaborasi antara perbankan dan operator telekomunikasi dinilai menjadi kunci penting pertumbuhan.

Yeo mengatakan operator telekomunikasi dan perbankan harus menjalin kerja sama intensif untuk mengembangkan platform tersebut. Tidak hanya terbatas pada mobile payment tetapi juga instrumen finansial lainnya.

Potensi besar dari penduduk yang belum memiliki rekening bank bisa digarap oleh operator telekomunikasi. Di banyak negara, menjadikan nomor telepon sekaligus menjadi rekening bank. Kerja sama ini akan menguntungkan dua belah pihak.

Khusus untuk kondisi di Indonesia, Yeo menilai perbankan yang harus mengambil inisiatif untuk menggandeng operator telekomunikasi. Pasalnya, perbankan dinilai punya akses dana yang lebih besar untuk menciptakan ekosistem.

Bagi masyarakat Indonesia, mobile payment mungkin belum jadi isu yang benar-benar dianggap penting. Namun, fenomena kedekatan masyarakat dengan perangkat mobile mereka rasanya akan membuat penetrasi platform ini semakin tinggi.

Reksa Dana Belum Sampai di Pelosok Negeri



Hingar bingar industri reksa dana di Ibukota nampaknya tak sampai menjangkau pelosok negeri. Di Langsa, kota kecil yang berjarak 400 kilo meter dari Banda Aceh, kemudahan berinvestasi justru menjadi barang langka.

Hal itulah yang dirasakan oleh Echa Putri Nesia. Gadis 24 tahun yang tinggal di kota kecil tersebut sejatinya telah lama menggeluti dunia investasi. Sejak masih berstatus mahasiswa di Universitas Syiah Kuala, Echa sudah menjajal deposito. Namun, bunga yang relatif kecil membuatnya tertarik menjajal instrumen investasi lain yang menawarkan return lebih tinggi, reksa dana.

Beberapa hari lalu, Echa lantas mendatangi kantor cabang Bank Mandiri yang terdapat di Kota Langsa untuk membeli reksa dana. Tapi apa daya, niatan tersebut menemui jalan buntu. Kepada Echa, customer service bank pelat merah tersebut menjelaskan bahwa mereka belum melayani pembelian reksa dana. “Katanya mereka enggak pernah melayani nasabah yang mau beli reksa dana sebelumnya. Mereka menyarankan untuk langsung ke Medan,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (1/1).

Apa yang dialami oleh Echa menggambarkan ketimpangan infrastruktur dan informasi instrumen investasi di kota besar dengan daerah. Bahkan menurut Echa, untuk meminta informasi tentang reksa dana di bank tersebut juga tak membuahkan hasil.

Tak hilang akal, perempuan yang baru menjadi sarjana ini lantas menghubungi rekan sejawatnya yang bekerja di sektor perbankan. Hasilnya pun mengecewakan. Tak banyak informasi soal reksa dana yang bisa dikoreknya dari rekan-rekannya tersebut. “Bahkan orang bank sendiri banyak yang belum ngerti soal reksa dana,” tambahnya.

Bagi Echa, pergi ke Medan untuk membeli reksa dana bukan persoalan yang mudah. Untuk menuju ke ibukota Sumatra Utara tersebut membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Ini tentu menjadi hal yang tidak mengenakkan bagi orang sepertinya.

Echa bisa jadi bukan satu-satunya calon investor yang kesulitan mengakses instrumen investasi. Di Indonesia, ada banyak sekali Echa-Echa lainnya yang mengalami nasib serupa. Ingin berinvestasi, tapi apa daya infrastruktur di kota tempat tinggalnya  belum memadai.

Beberapa manajer investasi memang sudah memberikan solusi berupa reksa dana yang bisa diakses secara online. PT Indo Premier Securities misalnya, telah meluncurkan portal supermarket reksa dana bagi para pelanggan. Platform yang diberi nama Ipot Fund ini merupakan kumpulan produk-produk reksa dana dari beragam MI yang bisa dibeli lewat transaksi di dunia maya.

Namun, bagi investor pemula seperti Echa, platform online semacam ini belum bisa menjadi solusi. “Informasi soal reksa dana yang biasa saja sulit didapat. Apalagi yang online. Rasanya masih belum percaya,” katanya.

Otoritas Jasa Keuangan selaku wasit di industri ini memang bukan tanpa upaya. Sejak beberapa waktu lalu, wacana untuk memperluas jaringan agen penjual reksa dana telah mengemuka. Rencananya, selain perbankan, produk investasi yang tengah naik daun ini juga akan dijajakan oleh perusahaan asuransi, dana pensiun, perusahaan multifinance, pegadaian, dan PT Pos Indonesia.

Pada 29 Desember 2014 lalu, rencana tersebut akhirnya terealisasi. Melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 39/POJK.04/2014 tentang Agen Penjual Efek Reksa Dana, distribusi reksa dana diperluas.

Direktur Direktorat Pengelolaan Investasi OJK Fahri Hilmi mengatakan aturan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah nasabah. Dia mengakui, selama ini calon investor reksa dana memang terbatas karena hanya mengandalkan manajer investasi dan perbankan. Padahal, tidak banyak MI yang membuka cabang di luar Jakarta.
“Ini merupakan upaya kami untuk meningkatkan pendalaman pasar,” katanya, Selasa (30/12).

Dengan membuka kesempatan bagi perusahaan asuransi, multifinance, dan PT Pos Indonesia untuk menjual reksa dana, OJK berharap bisa menjaring calon investor yang tidak terjangkau MI maupun perbankan. Ini tentu menjadi angin segar bagi orang-orang seperti Echa.

Menilik data OJK, tingkat kepercayaan investor terhadap industri reksa dana sebenarnya semakin meningkat. Ini terlihat dari jumlah unit penyertaan yang terus menunjukkan perkembangan positif. Pada Januari 2014, jumlah unit penyertaan yang beredar sebanyak 120,64 miliar yang kemudian membengkak 18,70% menjadi 143,20 miliar pada 24 Desember 2014.

Sementara itu, dari sisi jumlah reksa dana, sampai 29 Desember 2014 mencapai 890 produk, di mana 202 diantaranya aktif sepanjang tahun ini. Keseluruhan reksa dana tersebut dikelola oleh 77 manajer investasi melalui 17 bank kustodian.

Menanggapi aturan baru tersebut, Wakil Ketua Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI) Prihatmo Hari Mulyanto mengatakan langkah OJK ini akan membawa dampak positif bagi industri terutama untuk menmbah jumlah investor.

“Semakin banyak institusi yang menyuarakan reksa dana akan semakin bagus untuk meningkatkan product awareness yang saat ini masih rendah,” katanya melalui pesan singkat kepada Bisnis, Selasa (30/12).

Kendati demikian, Prihatmo yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Danareksa Investment Management ini meminta OJK untuk mempertahankan prinsip kehati-hatian untuk semua institusi penjual reksa dana.

Kendati menjadi angin segar bagi calon investor potensial di seantero negeri, aturan ini patut diperhatikan lebih lanjut. Apakah perusahaan asuransi dan multifinance tertarik menjajakan reksa dana? Bagaimana juga menerapkan prinsip kehati-hatiannya? Di balik itu, Echa-Echa lainnya di Indonesia bisa sedikit bernafas lega. Jika kantor pos saja sudah bisa menjual reksa dana, sekelas Bank Mandiri di kota kecil seharusnya jauh lebih agresif.

Bursa, Ikan Kaleng & Infrastruktur

Sumber: www.marketplus.co.id


Saat menutup perdagangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di hari terakhir 2014, Wakil Presiden Jusuf Kalla membeberkan cerita soal ikankaleng busuk.

“Di pasar modal ini ada cerita orang jual ikan kaleng dengan harga tinggi. Lalu dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi lagi. Begitu dibuka ternyata ikannya busuk,” ujar Jusuf dalam pidatonya, Rabu (30/12). “Lalu ada yang bilang ini kan memang bukan untuk dimakan tetapi untuk diperjualbelikan,” tambahnya.

Di hadapan pelaku pasar modal itulah Wapres menyindir kinerja bursasaham. Memang, performa IHSG menjadi salah satu yang mencatatkan pertumbuhan tertinggi di Asia.  Secara year to date bursa saham kita tumbuh 22%, hanya kalah dari Filipina. Ini jelas kabar menggembirakan di tengah terpaan sentimen global. Tapi rupanya hal itu belum memuaskan orang nomor dua di Republik Indonesia tersebut.

JK mengibaratkan ikan busuk seperti saham emiten. Diperjualbelikan dengan harga tinggi tapi buruk secara fundamental. Kondisi seperti itulah yang harus dihindari oleh pelaku pasar modal di Tanah Air. Jika terjadi, inilah sinyal pertumbuhan yang serba timpang. Investor besar berpesta tetapi masyarakat merana. Ini juga tercermin dari data pertumbuhan indeks yang sangat timpang dengan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,2%.

Untuk menghindari hal tersebut, emiten diminta menggenjot produksi. Mengalokasikan dana yang didapat dari pasar modal untuk kembali berekspansi. Dengan demikian ekonomi akan terangsang. Konsumsi melonjak. Pertumbuhan ekonomi 7% menjadi bukan sebatas mimpi. Di kondisi inilah harga saham merepresentasikan performa fundamental perusahaan. Bukan seperti ikan busuk yang diceritakan Jusuf Kalla.

Jusuf boleh jadi benar. Selama ini orang kebakaran jenggot jika IHSG merosot. Padahal, itu bukan patokan utama. “Pasar modal memang penting. Tapi perhatikan juga Pasar Tanah Abang, Pasar Klewer, dan pasar-pasar lainnya,” begitu katanya.

Apa yang diungkapkan JK seperti membuka mata kita. Pasar-pasar yang dianggap konvensional itulah yang menggerakkan ekonomi. Permintaan dan penawaran bertemu. Transaksi dilakukan atas dasar kebutuhan hidup. Di pasar-pasar itulah masyarakat kecil, bukan pemilik modal kelas kakap, menggantungkan hidup.

Cerita ikan kaleng busuk dari JK ini kembali dipertegas oleh Presiden Joko Widodo 3 hari kemudian. Dalam pidato pembukaan debut IHSG di 2015, Jokowi memancarkan sinyal optimisme. Ruang fiskal yang kian lebar membuat komitmen percepatan infrastruktur bukan isapan jempol.

“Pengalihan subsidi BBM membuat ruang fiskal kita semakin lebar. Saat ini ada sekitar Rp240 triliun yang bisa dipakai untuk membangun infrastruktur seperti waduk, irigasi, jalan tol, jalur kereta api, pelabuhan, dan airport,” kata Presiden, Jumat (2/1).

Dana segar Rp240 triliun memang terlihat besar, tetapi apakah cukup untuk menyediakan seluruh infrastruktur yang dibutuhkan? Rasanya tidak. Untuk itulah dibutuhkan sumber pendanaan lain yang relatif mudah diakses. Di sinilah pasar modal mengambil peran. Menyediakan akses bagi korporasi mendanai proyek mereka.

Jokowi memang tidak seperti JK yang langsung menunjuk hidung para pelaku pasar modal. Tapi pesan yang disampaikan Presiden gamblang menggambarkan. Bursa harus bisa mendorong pembangunan infrastruktur. Jika hal itu bisa dilakukan, cerita ikan kaleng busuk dari JK tentu akan jadi sebatas cerita.

Presiden memang tidak menyangkal, tantangan ke depan tidak mudah. Sentimen global cenderung sulit dikalkulasi. Namun, kolaborasi antara efektifitas pasar modal dan percepatan infrastruktur dipercaya akan membuat ekonomi makin kokoh. Tak lekang meski amukan tren negatif global menghadang.

Guna mendukung percepatan investasi, Presiden juga menjanjikan satu hal yang selama ini menjadi barang langka. Kemudahan perizinan. Inilah yang selama ini menjadi benalu investasi. “Bagaimana bisa untuk izin mau bangun pembangkit listrik saja memakan waktu bertahun-tahun. Padahal kita krisis listrik,” ujar Jokowi.

Perizinan yang tidak berbelit-belit memang jadi modal utama menggenjot ekonomi. Siapa investor yang tidak lari jika baru niat saja sudah dipersulit? Maka, ketika Jokowi mengancam akan memecat pejabat yang mempersulit perizinan, tepuk tangan hadirin bergemuruh. Tentu sambil berharap apa yang diucapkan Presiden bukan lip service semata.

Obligasi Infrastruktur

Tentu tidak adil rasanya jika tidak menyebut rencana Bursa Efek Indonesia guna mendukung ambisi pemerintah. Sebagai wasit di pasar modal, otoritasbursa jelas punya peran yang tidak kecil. Ito Warsito, Direktur Utama BEI, mengatakan pembiayaan infrastruktur memang menjadi salah satu fokus utama BEI.

Ito menuturkan pihaknya juga tengah menggodok ketentuan yang mempermudah perusahaan mendapatkan dana segar untuk membangun infrastruktur. Meskipun belum beroperasi, perusahaan-perusahaan ini bisa tetap menerbitkan obligasi, asal sudah punya penjamin yang akan menanggung kupon jika perusahaan tersebut tidak bisa memenuhi kewajibannya.

Memang tidak semua proyek bisa mendapatkan fasilitas ini. BEI akan melakukan penilaian komprehensif dari sisi kelayakan proyek, kebutuhan, kronologi, dan pihak-pihak yang terlibat. “Kalau yang terlibat ternyata bermasalah yang tidak bisa,” katanya.
Emiten yang produktif, harga saham yang melonjak, dan akses pembiayaan infrastruktur yang serba mudah dari pasar modal tentu akan menggairahkan ekonomi. Semoga saja ikan kaleng busuk memang sebatas cerita dari Pak JK.

Wantina, Motor Butut & Perlawanan

Spanduk perlawanan petani Ogan Ilir

Suatu malam, Juni 2010, puluhan orang berkumpul membentuk lingkaran di satu rumah panggung milik Abdul Muin. Ruangan selebar setengah lapangan badminton itu, panas oleh debat.

Suasana makin tak terkendali. Belum selesai orang berbicara, lainnya sudah menimpali.
Sebagian besar adalah penduduk Dusun Lubuk Bandung, Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir,
Sumatra Selatan. Saat suara makin meninggi, seorang pria dengan kain sarung dan kaus oblong memasuki ruangan. Tubuhnya kurus dan berkulit sawo matang. Wajahnya tirus. Dia duduk di antara orang-orang yang berdebat. Tangannya kemudian teracung mencoba menengahi debat yang tak berkesudahan. “Motor sudah ku jual,” ujarnya singkat.

Kalimat singkat itu berhasil membuat puluhan pasang mata mengarah padanya. Pria bersarung itu berhasil menguasai suasana dalam waktu singkat. Senyap tibatiba menjalar. Orang itu sering dipanggil Wantina. Wantina bukan nama sebenarya. Dalam kartu identitas, namanya tertulis
Sriwansyah. Sapaan Wantina didapatnya setelah menikahi bernama Khotina, istri tercintanya.

Entah siapa yang memulai, tetapi nama itu terlanjur melekat menjadi panggilan sehari-hari. Umurnya baru di awal 30-an. Namun, malam itu, dia menjadi penengah di antara orang-orang yang jauh lebih tua. Wantina adalah salah satu petani Lubuk Bandung yang berkonflik dengan PT Perkebunan Nusantara VII (PTPN VII) Unit Usaha Cinta Manis.

Embrio perseteruan dimulai pada 1980-an saat perusahaan pelat merah ini membuka lahan tebu seluas 20.000 hektar di enam rayon. Ini meliputi Kecamatan Inderalaya, Lubuk Keliat, Muara Kuang, Payaraman, Rantau Alai, Tanjang Raja dan Tanjung Batu.

Dusun Lubuk Bandung yang ditinggali Wantina termasuk rayon 6 bersama Dusun Rengas dan Dusun Betung. Masyarakat mengklaim hanya 375 hektare yang baru diganti rugi dari total 1.495 hektare. Alhasil, Wantina dan warga lainnya menuntut PTPN VII untuk mengembalikan 1.020 hektare tanah yang saat ini ditanami tebu.

PTPN VII adalah perusahaan milik negara yang dibentuk pada 1996, serta memfokuskan bisnisnya di sektor perkebunan kelapa sawit, karet, tebu dan teh. Berdasarkan situs resminya, cakupan wilayah korporasi itu terdiri dari Provinsi Lampung, Provinsi Sumatra Selatan dan Provinsi Bengkulu.

Masing-masing memiliki sepuluh unit usaha, 14 unit usaha serta tiga usaha. PTPN VII juga adalah hasil penggabungan empat PTPN, dan salah satunya merupakan milik Belanda yang dinasionalisasi pada 1957. Pada Oktober 2008, konflik memanas. Ini adalah saat PTPN VII memaksa penduduk untuk mengosongkan kawasan sekitar payau atau area rawa yang selama ini dimanfaatkan untuk berkebun. Wantina juga berkebun di wilayah itu.

Dia mulai mengorganisirwarga untuk mempertahankan hak mereka. Eskalasi semakin memanas hingga tahun berikutnya. Tak hanya dari Lubuk Bandung, ratusan petani dari Dusun Rengas dan Dusun Betung pun bergabung. Operasi perusahaan terganggu karena warga menutup akses ke perkebunan. Pada Januari 2009, Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya memerintahkan perusahaan untuk mengembalikan tanah di sekitar payau Mungkin saja, ini adalah satu kemenangan kecil. Aksi pun berlanjut.

Mereka bergerilya melakukan sabotase terhadap aktivitas perusahaan. Akses jalan ditutup. Truk pengangkut tebu dihentikan. Praktis pada masa-masa itu Wantina banyak menghabiskan waktunya untuk melawan. Ditemani sepeda motor bututnya, Wantina bertemu dengan banyak petani lainnya. Ini pun ada hasilnya.

Pada 29 Desember 2009, Badan Pertanahan Nasional Sumatra Selatan mengeluarkan surat penting. PTPN VII Cinta Manis diumumkan hanya memiliki lahan beralaskan hak guna usaha (HGU) sebesar 6.500 hektare dari total sekitar 20.000 hektare.

Berbekal dari surat BPN, warga mulai melakukan pendudukan di atas lahan yang diklaim. Mereka menebas tebu. Pondok-pondok didirikan. Kelompok-kelompok kecil mulai dibentuk. Setiap Jumat, puluhan petani Lubuk Bandung berbondong-bondong memasuki lahan tebu. Aksi tersebut, tetap dilakukan walaupun perusahaan sudah memberikan peringatan. Wantina menjadi motor dari gerakan itu.

Setelah berjalan beberapa minggu, tantangan demi tantangan lainnya berdatangan. Kepolisian Resor Payaraman akhirnyamengeluarkan surat perintah penangkapan kepada 12 petani Lubuk Bandung dengan tuduhan perusakan lahan tebu. Surat itu sedikit banyak mempengaruhi perlawanan warga. Tidak sedikit yang memilih mundur karena takut ditangkap. Namun,tak sedikit pula yang masih melawan.

Pada 23 Maret 2010, belasan polisi memasuki dusun pada malam hari untuk menangkap ke-12 buronan tersebut. Dua tokoh pimpinan, Busrah dan Djamaludin berhasil diciduk malam itu.

***
Wantina adalah sosok yang periang. Dia suka berkelakar meski terkadang agak keterlaluan. Wantina juga memiliki reputasi buruk pada masa lalu. Dia identik dengan judi, minuman keras, dan berbagai tindak kriminal. Mencuri hewan ternak seperti ayam, bebek, dan sapi sudah menjadi hal yang biasa. Saat masih bekerja sebagai satuan pengaman PTPN VII, dia juga rajin menggasak berkarung-karung pupuk yang disimpan di gudang perusahaan.

Namun,sejak melawan, dia menjadi primadona. Keberaniannya menonjol di antara petani lainnya. Meski tidak secara formal, Wantina dianggap sebagai salah satu pemimpin. Dengan pengalamannya bertahun-tahun di dunia kriminal, Wantina punya banyak kawan.

Hobinya menjelajah dari satu dusun ke dusun lain dengan sepeda motor butut kebanggaannya. Sepeda motor Suzuki Smash pada 2004 itu sudah tidak memiliki badan utuh. Rangka badannya macam tengkorak. Rem pun diganti dengan kaki. Jika bepergian pada malam hari, dia harus membawa senter karena lampu si butut tak berfungsi.

Malam itu, di pertengahan Juni 2010, Wantina tidak terlihat seperti biasanya. Wajahnya kuyu tampak kurang gairah. Kali ini, dia datang bukan dengan celetukan iseng dan bikin orang terpingkal-pingkal. Namun, di antara orang-orang yang berdebat, dia justru lebih realistis.

Pangkal persoalan ini sebenarnya pada soal uang. Kedua pimpinan yang ditangkap, Busrah dan Djamaludin saat ini sedang mendekam di rumah tahanan Merdeka, Palembang. Persidangan demi persidangan sudah tiap minggu dilakukan.

Setiap minggu pula warga berbondong-bondong mendatangi lokasi persidangan menggunakan truk mendukung kedua pesakitan tersebut. Masa-masa ini adalah masa yang sulit bagi warga Lubuk Bandung. Keduanya dihukum 15 bulan. Dana untuk perlawanan terus membengkak.

Selain membiayai ongkos persidangan, warga juga menanggung hidup keluarga Busrah dan Djamaludin. Kini, mereka baru saja mendapatkan kabar harus menyediakan uang beberapa juta rupiah dalam waktu satu minggu. Bagi warga Lubuk Bandung yang hanya berpenghasilan
Rp500 ribu—Rp800 ribu per bulan, biaya itu menambah beban.

Di tengah kebingungan itulah Wantina mengabarkan telah menjual sepeda motor bututnya seharga Rp1 juta. Si butut yang selama ini menemaninya menggalang perlawanan. Si butut itu pula yang dipakai istrinya, Tina, untuk memanen getah karet. Sang istri hanya bisa pasrah. Beberapa tahun terakhir, saat sang suami disibukkan pada aktivitas perjuangan, Tina yang menjadi tumpuan keluarga.

Setiap pagi dia harus menuju kebun karet sejauh 3 kilometer dan pulang menjelang siang. Kini dia harus berjalan kaki sejauh 6 kilometer. Walaupun kesal, dia menganggap ini adalah bentuk
dukungan kepada sang suami. “Ya begitulah kelakuan kakakmu itu,” ujarnya sambil tertawa.

Dan begitulah, Wantina yang saya kenal.